Uncategorized

Menyapa Sidorejo, Desa Transmigrasi Pertama di Kaltim (2-Habis)

Saat Soeharto berkuasa, Semoi Dua –Kecamatan Sepaku– menjadi desa transmigran sejak 1970-an. Tempat ini pula yang diindikasikan sebagai titik ibukota baru.

MAS’UD merupakan generasi kedua transmigran di Desa Semoi Dua. Kini, dia menjabat sebagai Kepala Dusun I. Cerita Mas’ud tak jauh berbeda dengan cerita Slamet; sama-sama berisi kemalangan hidup para transmigran. Mas’ud adalah transmigran asal Kabupaten Tuban –Jawa Timur.

Zaman itu, akses jalan di Desa Semoi Dua masih sangat sulit. Mas’ud dan keluarganya bahkan harus berjalan berkilo-kilo meter jika ingin pergi ke Kota Balikpapan. “Jadi kami transmigrasi 1977, saya lahir 1971. Umur saya 6 tahun. Desa Semoi Dua dulu penuh penderitaan,” tuturnya, mengenang masa kepahitan saat itu, seperti dikutip dari Detik.

Akses jalan tak sekadar sukar. Lingkungan Desa Semoi Dua juga masih berbukit dan hutan belantara. Di sana, pohon-pohon besar seperti ulin masih banyak ditemui. Kondisi ekonomi masyarakat transmigran di Desa Semoi Dua juga masih terpuruk. Bahkan, saat memanen hasil pertanian dan kebun, barangnya tidak laku lantaran sulit untuk dijual.

“Tanaman itu hasilnya melimpah, tapi pemasarannya susah. Satu biji singkong itu bisa sampai 5 kilo. Tapi enggak laku. Kami juga sudah enggak bisa makan singkong,” ungkap Mas’ud.

Akibat kondisi yang begitu sulit ini, banyak transmigran merantau ke Kota Balikpapan atau kembali ke kampung halaman. Tetapi saat itu, keluarga Mas’ud memilih untuk tinggal karena terpaksa. Dia juga bercerita, saat melakukan perjalanan untuk mencapai rumah kayu yang disediakan oleh Pemerintah, para orangtua nampak menangis. Bahkan, ayah dan ibunya merasa seperti orang buangan.

“Istilahnya dulu itu hujan air mata. Sambil berjalan itu rata-rata menangis orangtua kami. Saya masih anak-anak waktu itu, jadi enjoy saja. Lihat sungai, lihat ikan-ikan banyak. Orangtua menangis karena merasa terbuang,” ucapnya.

Kesulitan tak hanya sampai disitu. Ketika mencari rumahnya, mereka harus melempar batu lebih dahulu untuk mendengar bunyi gentingnya yang terbuat dari seng.

Seperti Slamet, Mas’ud menyebut di Desa Semoi Dua juga pernah ada pagebluk; sore sakit, pagi mati. Semua karena epidemi malaria tropika. Bahkan, Mas’ud sempat tak bisa berjalan selama 3 bulan karena penyakit ini. “Malaria tropika ini di Kalimantan seperti penyakit bawaan. Jadi, kalau belum kena malaria tropika, belum bisa dinamakan orang Kalimantan,” imbuhnya.

Di tahun pertama program trasmigrasi Pemerintah Pusat, orangtua Mas’ud masih mendapatkan bantuan beras, ikan asin, minyak goreng, minyak tanah, dan sabun.

Cerita serupa juga datang dari Karsimah. Ia adalah generasi dan transmigran pertama. Kini, ia berusia 70 tahun. Karsimah berasal dari Kabupaten Tuban –Jawa Timur. Karsimah menceritakan, Desa Semoi Dua saat itu masih berbentuk hutan belantara. Untuk menempuh perjalanan keluar, ia bahkan harus menginap di hutan dengan bekal selendang sebagai alas tidur.

“Sedih sekali. Jam 12 malam masih di jalan. Selendang pernah saya pakai untuk alas tidur sama anak-anak,” tutur Karsimah, dalam bahasa Jawa, seperti dikutip dari Detik.

Saat epidemi malaria tropika, Karsimah mengaku tidak menjadi korban. Saat itu, justru ia yang ikut menolong para transmigran yang sakit. “Kalau malaria itu yang di hutan dalam sekali. Kalau sudah ada yang kena, mereka ke rumah saya. Numpang mandi dan makan. Yang mati kemudian dipikul dengan sarung. Soalnya belum ada mantri kesehatan dan lain-lain,” lanjutnya.

Karsimah mengaku ikut program transmigrasi ini karena ajakan sanak saudaranya. Program tersebut seperti menjanjikan masa depan yang gemilang saat itu.

Medio 1957 Sidorejo memang menjadi tujuan transmigran dari Pulau Jawa. Desa yang merupakan pemekaran dari Kelurahan Petung –Kecamatan Penajam– itu menyimpan cerita kelam. Terutama bagi mereka yang menginjakkan kaki pertama di sana, jauh sebelum ditetapkan menjadi ibukota Indonesia.

Saat itu, Presiden Soekarno sudah menginisiasi program transmigrasi. Transmigran dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, merupakan kelompok masyarakat yang mendominasi Desa Sidorejo.

Detailnya, transmigran yang telah puluhan tahun tinggal di Desa Sidorejo berasal dari Kabupaten Banyuwangi –Jawa Timur– dan Kabupaten Banyumas –Jawa Tengah.

“Saya tidak tahu persis berapa banyak jumlah transmigran saat itu. Saya mendengar cerita kalau setiap romongan transmigran ada kepala regunya,” ucap Muhaji, Kepala Desa Sidorejo, Muhaji, saat berkisah kedatangan transmigran pertama ke wilayahnya pada 1957.

“Rombongan yang ada kepala regunya itu posnya di dulu Kelurahan Petung, pos penampungan. Setelah itu diarahkan ke lokasi yang sudah ada nomornya,” timpalnya, seperti dikutip dari Detik. (fai)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button