Cerita

Akhir Hidup Para Hitokiri dan Battosai si Pembantai: Tak Seperti di Manga dan Film #2

Perjalanan hidup Kawakami Gensai penuh dengan penderitaan. Hingga ajal menjemput, dia tetap menolak kehadiran pihak asing di Negeri Matahari Terbit.

Oleh:
Faisal Rahman, Chief in Editor DEKADE.ID

GENSAI lahir di Kumamoto 25 Desember 1834. Nama aslinya adalah Komori Genjiro, anak kedua dari Komori Sadasuke. Sang ayah –Komori Sadasuke– bekerja untuk Daimyo di Kumamoto yang masih berada dibawah kekuasaan Shogun klan Tokugawa. Ketika berumur 11 tahun, Genjiro diadopsi Kawakami Genbei –seorang pegawai Daimyo. Disinilah kemudian dia resmi berganti nama menjadi Kawakami Gensai –kelak dikenal dalam sejarah sebagai pembunuh berdarah dingin.

Di keluarga baru tersebut, Gensai mulai disekolahkan dan belajar beladiri. Buku biografi “Teihon Kawakami Gensai” yang ditulis Seishi Araki menyebut, di masa itu bakat Gensai dalam memainkan pedang justru tidak terlihat. Malah sering kalah saat melakukan sparing menggunakan Shinai. Gensai bahkan mengatakan jika pedang bambu tidak lebih dari sekadar permainan.

Ketika berusia 16 tahun, Gensai dipanggil bekerja di istana Kumamoto sebagai petugas kebersihan. Meski posisi tersebut paling rendah di sana, Gensai benar-benar menikmati pekerjaannya dengan sepenuh hati. Ditengah rutinitasnya, Gensai ternyata tak hanya berlatih bela diri saat jam istirahat kerja.

Dia menggunakan waktu luang untuk berkesenian, membuat sastra, serta belajar Sado dan Ikebana. Pada momen inilah Gensai bertemu dengan Todoroki Buhe dan Miyabe Teizo, dua sosok yang disebut-sebut sebagai mentornya. Dari keduanya pula, Gensai belajar tentang konsep Kinno yang kelak akan menjadi alasannya mendukung kekaisaran melawan Shogun klan Tokugawa.

Medio 1850-an, Gensai sempat bekerja dengan Kumamoto Hosokawa Narimori –bangsawan Shogun. Dia kemudian dibawa ke Edo –ibukota Jepang, dulu di Kyoto– untuk menemani Narimori melakukan penandatanganan perjanjian dengan pihak asing. Ketika di sana, Komodor Matthew Perry telah mendarat di Jepang. Saat fase transisi inilah, Jepang yang diwakili pemerintah Shogun klan Tokugawa, melakukan perjanjian dengan lima negara. Diantaranya Amerika, Inggris, Rusia, Belanda, dan Prancis.

Perjanjian ini dikenal dengan nama The Ansei Treaties. Sebelumnya, banyak negara yang ingin melakukan hubungan dengan Jepang. Namun misi tersebut selalu gagal. Hingga akhirnya Perry datang membawa kapal perang berukuran besar. Di lain sisi perjanjian itu, Perry justru memaksa Pemerintah Jepang untuk mulai melakukan perdagangan dengan dunia luar. Dalam kondisi ini, Shogun klan Tokugawa tak punya pilihan. Perjanjian pun ditandatangani. Namun bagi sebagian pihak, perjanjian The Ansei Treaties dianggap tak adil. Salah satu yang menganggap hal itu adalah Gensai.

Gensai kemudian memilih pergi dari Edo dan kembali ke Kumamoto. Tiba di tanah kelahiran, Gensai memutuskan bersekolah di Oen Kinno yang dimiliki Hayashi Oen –ahli strategi militer nasionalis yang cukup terkenal di era Bakumatsu. Gensai sekolah di sana hingga lulus. Pasca itu, Gensai kembali lagi ke Edo sebelum menikah dengan Misawa Teiko –putri seorang pegawai Daimyo– dan memiliki seorang anak bernama Gentaro. Teiko sendiri disebut terampil dalam menggunakan Naginata.

Medio 1860, Gensai bergabung dengan pasukan khusus Kumamoto yang bertugas menjaga keamanan di Kyoto setelah menikah. Dia kemudian diangkat menjadi pengawal Sanjo Sanetomi –seorang bangsawan kekaisaran Jepang. Semasa menjadi bodyguard inilah –berdasarkan pelajaran yang didapatkan dari Todoroki Buhei, salah satu mentornya di istana Kumamoto– gensai mulai menciptakan Shiranui-Ryu; aliran pedang yang sangat mengandalkan kecepatan. Aliran pedang Shiranui-Ryu ini pula yang disebut-sebut menjadi inspirasi gaya berpedang Hiten Mitsurugi-Ryu milik Kenshin Himura di manga/anime “Samurai X“.

Medio 1864 menjadi tahun duka bagi Gensai. Miyabe Teizo –salah satu mentornya di istana Kumamoto– dibunuh oleh pasukan Shinsengumi yang melakukan penyerangan ke Ikedaya. Kekuasaan Shogun klan Tokugawa yang mulai goyah, membuat pasukan Shinsengumi melakukan pembunuhan kepada mereka yang mendukung Kaisar Meiji. Miyabe Teizo sendiri merupakan pendukung Kaisar Meiji yang loyal dan pernah mengajarkan konsep Kinno kepada Gensai.

Setelah kejadian itu, Gensai memutuskan melepaskan diri dari segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan Jepang yang dijalankan Shogun klan Tokugawa. Termasuk di istana Kumamoto. Dia memilih menjadi samurai yang setia kepada kekaisaran dan menjalankan konsep Kinno. Saking setianya pada kekaisaran, Gensai sampai memburu para politisi Jepang yang pro Shogun dan pihak asing. Konon, Gensai bergabung dengan gerakan bernama Jyoi –salah satu faksi yang mendukung kekaisaran Meiji. Kebenaran mengenai informasi ini sendiri masih diragukan.

DEKADE.ID mencoba menelusuri rekam jejak pembunuhan yang dilakukan Gensai di masa itu melalui pelbagai literasi secara online. Namun, tak ada catatan resmi siapa dan berapa jumlah pembunuhan yang telah dilakukannya. Namun Gensai dipercaya melakukan banyak pembantaian di pelbagai tempat jelang Restorasi Meiji. Hal ini mengingat gelar yang disematkan kepada Gensai saat itu; Hitokiri.

Meski telah melakukan pembunuhan, hanya satu pembunuhan Gensai yang tercatat dalam sejarah dan yang paling dikenal. Yakni pembunuhan kepada Sakuma Shozan pada 12 Agustus 1864. Menurut catatan, pembunuhan ini dilakukan Gensai dengan sekali tebasan bersama tiga samurai lain yang menemaninya di siang bolong pada 12 Agustus 1864. Korban Gensai satu ini memang bukan sembarangan. Shozan tak hanya politisi pendukung Shogun klan Tokugawa. Dia sosok terpelajar yang banyak mempelajari ilmu pengetahuan barat.

Setelah dipercaya terlibat dalam banyak kasus pembunuhan, Gensai pindah ke Chosu. Di sana, dia bergabung dengan pasukan Kiheitai yang bertempur melawan pasukan Shogun untuk mempertahankan Chosun pada 1866. Dalam pertempuran itu, pasukan Kiheitai berhasil menang. Gensai sebenarnya sempat menyerah dalam sebuah pertempuran di Kokura dan dipenjara oleh pemerintah Shogun klan Tokugawa hingga dibebaskan pada 1868 oleh pemerintah Meiji. Catatan sejarah menyebut, Gensai tidak terlibat dalam Perang Boshin karena masih berada dalam tahanan.

Dalam banyak catatan sejarah Jepang, Gensai memang mendukung Restorasi Meiji dan menolak kebijakan Pemerintahan Jepang yang dijalankan Shogun klan Tokugawa. Namun ternyata –dikemudian hari– era Meiji justru setuju dengan konsep dan pandangan Sakuma Shozan –politisi yang dibunuh Gensai– bahwa untuk maju Jepang harus membuka diri, namun tak meninggalkan jati diri mereka. Hal inilah yang membuat Gensai kecewa dan akhirnya menentang pemerintahan Meiji. Bagi Gensai, perjuangannya dan samurai lain yang telah tewas karena membela kekaisaran menjadi sia-sia. Makanya, Gensai kemudian momok berbahaya bagi pemerintahan Meiji.

Dia pun menjadi target para tentara kekaisaran. Sayang, nasibnya berakhir tragis. Pasca pemerintahan Meiji berkuasa, pasukan Kihetai –termasuk Gensai– justru ditangkap dan dipenjara atas pembunuhan yang pernah mereka lakukan dulu. Gensai bahkan dipenjara hingga akhir Restorasi Meiji. Setelah bebas dari penjara, Gensai mengganti namanya menjadi Kouda Genbei. Dia lalu pulang ke kampung halamannya di Kumamoto. Selain menjadi pejabat militer di sana, Gensai juga menjadi guru pedang yang membuka dojo di Kumamoto.

Sayangnya, lantaran dituduh menyembunyikan mantan pasukan Kihetai lain yang masih menjadi buronan pemerintahan Meiji, Gensai ditangkap kembali pada November 1870. Dia lalu dieksekusi di Tokyo pada 13 Januari 1872. Sementara Teiko dan Gentaro tetap hidup setelah Gensai dieksekusi hukuman mati. Tubuh Gensai kemudian dikubur di Ikegami Honmon-Ji di Tokyo. Hingga kini, makam Gensai masih ada di sana. (*)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button