Menyapa Sidorejo, Desa Transmigrasi Pertama di Kaltim (1)
Kelak, bila benar jadi Ibu Kota Negara (IKN), jasa manusia-manusia renta ini perlu selalu diingat.
PULUHAN tahun lalu, mereka bertaruh nyawa membabat alas; meneroka belantara meski malaria mengintai jiwa. Mereka merasa dibuang oleh negara. Ini adalah sepenggal kisah perjuangan para transmigran di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) pada masa lalu yang begitu berat.
Kabupaten yang akan jadi ibukota baru itu dulunya hanyalah rawa dan hutan belantara. Cerita itu tergurat di Desa Sidorejo, Kecamatan PPU. Ya, di sanalah cerita ini dituturkan langsung dari transmigran yang ikut program transmigrasi gelombang pertama di Kalimantan Timur (Kaltim).
Sidorejo merupakan desa transmigrasi pertama di Kaltim sejak 1957. Saat itu, Indonesia masih dipimpin Presiden Soekarno. Slamet –transmigran asal Kota Solo, Jawa Tengah– turut serta dalam program transmigrasi Presiden Soekarno itu. Tanda-tanda usia senja begitu nampak pada wajahnya. Maklum, usia Slamet sudah 67 tahun.
Saat berusia 6 tahun, Slamet diajak orangtuanya pindah ke Kaltim melalui program transmigrasi pada 1957. Slamet berangkat dari Tanjung Priok –Jakarta– menuju Pelabuhan Balikpapan menggunakan kapal layar. Di zaman itu, kapal mesin belum banyak digunakan. Melalui program transmigrasi ini, orangtua Slamet mendapatkan rumah dan lahan garapan. Lahan inilah yang nantinya akan jadi modal mereka bertani.
“Orangtua dari Jawa langsung mau. Dijanjikan dikasih rumah satu, tanah pekarangan seperempat, lahan 1 hektare,” tutur Slamet, saat menceritakan awal kedatangannya di Desa Sidorejo, seperti dikutip dari Detik.
Kondisi rumah yang dijanjikan Pemerintah ternyata masih sangat seadanya. Dinding rumahnya terbuat dari kayu. Sementara atapnya dari daun nipah. Rumah itu berada di tengah hutan belantara. Selama setahun pertama, Slamet dan keluarganya mendapat jatah sembako dari Pemerintah.
“Rumah masih kayu bulat. Tak ada genting. Kurang lebih setahun, diberi jatah beras dan ikan asin. Bapak saya usaha sendiri. Waktu itu hutan ditebang saja, kayunya belum dikumpulkan,” katanya, sembari mengingatkan masa paling berat pada tahun itu.
Slamet ingat betul, makanan pokok yang mereka terima adalah bulgur, makanan sereal dari bulit beberapa spesies gandum yang gurih dan kering. Menurut Slamet, bulgur ini punya bau menyengat. Dia menyebutnya sebagai “Beras Bulgur”. “Beras bulgur dulu itu makanan kami. Bau sekali beras itu. Meskipun dicuci berkali-kali, baunya masih ada,” ucapnya.
Kondisi Desa Sidorejo pada masa itu cukup banal. Bentuknya rawa-rawa. Sedangkan tanahnya masih berjenis gambut. Jika diinjak, maka bagian tanah lain masih bergoyang-goyang. Ular, beruang, dan binatang buas lainnya, masih banyak ditemukan.
Tak hanya terkendala dari lingkungan saja. Slamet juga ingat bahwa Desa Sidorejo pernah mengalami epidemi malaria tropika. Berdasarkan kesaksiannya, orang yang terkena penyakit malaria biasanya akan merasakan sakit di sore hari, dan paginya akan meninggal dunia.
“Sore-sore sakit, paginya mati. Pagebluk itu bahasa Jawanya. Banyak yang enggak betah karena itu, akhirnya ada yang ke Kota Balikpapan atau kembali ke Jawa. Adaptasinya saat itu masih susah. Akses kemana-mana susah,” kenangnya. “Saya rasa masyarakat dulu belum adaptasi belum kenal lingkungan,” akunya.
Fasilitas kesehatan dari lokasi transmigrasi kala itu jauh dari kata laik. Untuk menuju rumah sakit terdekat saja, transmigran yang terkena malaria harus ditandu menggunakan sarung karena belum adanya ambulans. “Ada (rumah sakit, Red.), tapi kan di Penajam jauh perjalanan,” jelasnya.
Namun, kini ancaman tersebut sudah lenyap. Hutan belantara yang dulu rimbun kini berubah menjadi kebun sawit, sawah, hingga rumah penduduk. Meski begitu, masih lekat dalam ingatan masa-masa kelam mereka sebagai transmigran yang sudah turun-temurun menempati tanah tersebut.
Slamet sendiri pernah jadi korban malaria tropika ini. Hingga dia harus berganti nama, sebab orangtuanya percaya bahwa penyakit tersebut adalah kesialan yang dibawa oleh nama. Dulu, Slamet mengaku bernama Marno.
Selain Slamet, ada pula Suharjo. Berasal dari Kabupaten Blora –Jawa Tengah– dia mungkin transmigran tertua di Desa Sidorejo. Suharjo cukup kesulitan berkomunikasi karena faktor usia. Kata sang putri, Ismiah, Suharjo nyaris berumur 100 tahun.
Ismiah menuturkan, kegiatan sehari-hari ayahnya kini hanya berdiam diri saja di teras rumah. Kadang, Suharjo juga masih ikut salat berjamaah di masjid terdekat. Dengan anggukan kepala, Suharjo mengamini jika Desa Siderojo dulu adalah hutan belantara dan rawa. (fai)