
DEKADE, SAMARINDA – Kinerja buruk manajemen Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) yang dijalankan drh. Iliansyah –Chief Executive Officer (CEO) RSHD sekaligus Direktur Utama (Dirut) PT Medical Etam (ME)– bersama Sulikah –General Manager (GM) RSHD– ternyata bukan gosip belaka. Tunggakan pembayaran kepada dokter spesialis yang berpraktik di sana, justru dialami pula oleh dr Muhammad Deddy Pratama. Dia merupakan cucu dari anak pertama H. Darjad –Hj. Zaenab– sekaligus putra mendiang mantan Wakil Walikota Samarinda, Nusyirwan Ismail.
Saat press conference Senin 21 April 2025, sekira pukul 13.30 siang tadi, di Hotel Midtown –Midtown Hall 1, Lantai 2– dr Muhammad Deddy Pratama menjadi satu dari enam ahli waris H. Darjad yang berbicara mengenai pelbagai masalah yang terjadi di RSHD. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini mengungkapkan, pernah bekerja di RSHD pada akhir 2023 hingga 2024. Dia mengaku mendapat rekomendasi dari dr. Andreas Anang, Sp.JP –Direktur RSHD saat itu– untuk bergabung di RSHD.
“Memang sudah terjadi keanehan sejak hari pertama saya bekerja. Keanehan itu mungkin dialami juga oleh dokter-dokter lain yang sependidikan sama saya atau nakes (tenaga Kesehatan, Red.) lain,” ujarnya.
Dr Muhammad Deddy Pratama menjelaskan, keanehan pertama terjadi saat proses hendak bekerja. Dimana, dia tak mendapat kontrak kerja apapun dari manajemen RSHD. Dia mengaku, belum mengetahui apakah hal ini masuk dalam ranah pidana atau perdata. “Di mana-mana kita tahu, apapun pekerjaannya, pasti kita akan butuh kontrak perjanjian. Baik pihak yang mempekerjakan atau pihak yang dipekerjakan. Ada poin kerjasama, PKS (Perjanjian Kerjasama, Red.), dan lainnya. Tapi ini tidak ada sama sekali,” urainya.
Setelah tidak dikontrak secara tertulis, dr Muhammad Deddy Pratama menerangkan, sempat diajak bicara secara lisan dengan CEO RSHD drh. Iliansyah dan manajemen RSHD. Setelah itu, dia pun mulai bekerja di RSHD. “Untuk legalitas, memang berbeda dengan kontrak. Kalau legalitas bekerja di sana saya mengikuti track saya sebagai spesialis. Saya daftar di MPP, surat izin praktik saya jelas, STR (Surat Tanda Registrasi, Red.) saya jelas. Teman-teman media bisa cek semua secara online, saya ini siapa, dan surat saya di posisi mana,” ungkapnya.
Dr Muhammad Deddy Pratama menegaskan, untuk pekerjaan di RSHD, legalitasnya sangat clear. Namun untuk statusnya sebagai karyawan di RSHD justru nihil. “Karena kenihilan itu, untuk jasa medis saya juga nihil,” akunya. “Jadi saya berbicara dan berdialog banyak, karena orang tahu saya bagian dari Rumah Sakit Darjad,” timpal dr Muhammad Deddy Pratama.
Dia menerangkan, banyak dokter spesialis yang mengungkapkan kondisi di internal RSHD. Dari informasi itu, dr Muhammad Deddy Pratama menyimpulkan, keterlambatan pembayaran kepada dokter spesialis di RSHD seperti hal yang jamak terjadi. Pun ada pula dokter spesialis yang tidak dibayar sama sekali. “Itu yang saya rasakan di sana. Makanya setelah saya merasa ini semua tidak benar, saya memilih jalan untuk keluar saja dari sana,” paparnya. “Saya bikin surat pengunduran diri dan di ACC juga oleh CEO (drh. Iliansyah, Red.),” sambung dr Muhammad Deddy Pratama.
Menurutnya, apa yang terjadi pada dirinya, itu pula yang terjadi kepada para dokter spesialis yang pernah bekerja di RSHD. Dimana hingga kini, mereka juga belum menerima haknya selama setahun setelah berpraktik di sana.
Dia menyatakan, tunggakan pembayaran ini tak hanya dialaminya sendiri. Sejumlah koleganya –dokter spesialis lain– juga mengalami hal serupa saat itu. Upaya untuk berkomunikasi dengan manajemen RSHD, kemudian dilakukan. Tak hanya melalui perorangan, tetapi juga secara kolektif. Sayang, hasilnya tetap nihil.
Sebab, manajemen RSHD terkesan menghindar dan lari dari tanggungjawab. Celakanya, dr Muhammad Deddy Pratama juga mengemukakan, manajemen RSHD juga tak pernah mengajak bicara para dokter yang berpraktik di sana mengenai kondisi internal RSHD. “Tidak ada komunikasi yang efektif bagi saya, dan itu PR (Pekerjaan Rumah, Red.) juga bagi manajemen untuk berkomunikasi ecara efektif,” tukasnya. (de)