Uncategorized

Pokja 30 Kaltim Ingatkan Potensi Konflik Tambang Dikelola Ormas Keagamaan

Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kalimantan Timur (Kaltim) mengungkap pelbagai problematika di dunia pertambangan batubara.

PEMBERIAN izin pertambangan kepada badan usaha organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, berpotensi menimbulkan konflik. Di lingkar perusahaan tambang beroperasi, hal ini bukan lagi rahasia umum. Itu sebabnya, Pemerintah diminta berhati-hati terhadap kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Ini bisa menimbulkan kerugian besar di masa depan dan tidak memberikan keadilan lintas generasi, konflik sosial juga tidak terelakan terutama antar masyarakat,” kata Buyung Marajo, Koordinator Pokja 30 Kaltim, saat menjadi narasumber di diskusi “PP 25 Tahun 2024: Hambatan Bagi Transisi Energi?”, Rabu 19 Juni 2024, di Jakarta Pusat, dalam rilis resmi yang diterima Klik Samarinda.

Berdasarkan catatan Pokja 30 Kaltim, sejumlah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang wilayahnya diciutkan dan akan dibagikan kepada badan usaha milik ormas keagamaan tersebut, juga tidak lepas dari problematika di lapangan.

Misalnya, PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang diduga pernah melakukan kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) kepada warga Dayak Basap Keraitan di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur (Kutim). Mereka diduga dipaksa pindah dari kampungnya dengan diintimidasi.

Selain itu, ada pula kasus tewasnya anak di lubang tambang milik PT Multi Harapan Utama (MHU) pada 2015. Lainnya, Ketika Pengadilan Negeri Tenggarong –Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim)– pada 4 Desember 2017, menjatuhkan hukuman terhadap PT. Indominco Mandiri, dan pidana denda Rp 2 miliar karena terbukti bersalah melakukan pembuangan (dumping) limbah tanpa izin.

Disamping itu, Buyung Marajo juga menyoroti minimnya ruang partisipasi masyarakat terhadap pembahasan PP Nomor 25 Tahun 2024 ini. “Partisipasi tidak dibuka, sementara di daerah merasakan dampaknya. Masyarakat lingkar tambang tentu saja adalah penerima dampak langsung dari aktivitas ekstraktif ini. Selain mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tentu saja mereka menjadi kelompok rentan baru yang tercipta dengan sengaja setelah industri ini hengkang dari wilayah kerjanya,” tutup Buyung Marajo.

Sebagai informasi, dalam diskusi “PP 25 Tahun 2024: Hambatan Bagi Transisi Energi?”, hadir sejumlah narasumber lain. Diantaranya Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dina Nurul Fitria, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPPI) Resvani, serta perwakilan Koalisi #BersihkanIndonesia Fajri Fadhilah. (re)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button