Warta

Pameran Grafiti Pertama di Samarinda: Solo Exhibition by SENA

Street artist dari Kota Samarinda, SENA, menggelar pameran tunggal di Kedai Kopi Muzzle tahun lalu. Inilah pameran grafiti pertama yang pernah dilakukan di Kota Tepian sepanjang dua dekade terakhir. Berlangsung sejak Sabtu 27 Agustus 2022 hingga Minggu 4 September 2022, sejumlah karya dihadirkan lewat instalasi atraktif.

DI ruang depan, disajikan sebuah pengantar dari Samar Project –kurator “Solo Exhibition by SENA“. Lewat media tembok berwarna putih, Samar Project mengejawantahkan sosok SENA sebagai bomber grafiti paling produktif di Provinsi Kalimantan Timur saat ini. Predikat itu tentu bukan sesumbar. Sejak 2011 hingga 2022, ada 476 karya dengan tag SENA yang dapat ditemui di Kota Samarinda dan sekitarnya. “Keberadaannya tentu tidak lepas dari kontroversi. Namun bagaimanapun, praktiknya yang dirangkum di ruangan ini adalah respon terhadap praktik seni dan produk visual yang ada di Samarinda,” tulis Samar Project.

Bagi Robby Oktovian dan Syahrullah –Samar Project– bila diamati, produk visual di ruang terbuka Kota Samarinda hanya didominasi tiga citra dominan. Pertama adalah kampanye politik, kedua adalah iklan, dan ketiga adalah mural. SENA sendiri mewakili citra dominan mural yang cukup konsisten menghiasi pelbagai ruang terbuka Kota Tepian. Berbeda dengan produk visual lain, mural SENA tidak memiliki tendensi promosi apapun selain aktualisasi. Samar Project menangkap pesan, secara ideologis apa yang dilakukan SENA adalah bentuk “provokasi”, bahwa warga sipil pun mempunyai hak untuk berkarya secara radikal di ruang terbuka.

Samar Project melihat, meskipun pada tingkat global grafiti telah terestablish menjadi bagian dari praktik seni publik, namun di Kota Samarinda praktik itu kerap dilihat sebelah mata. Praktik seni di Kota Samarinda sendiri berjalan dengan cara organik dan institusional yang kaku. Akibatnya, keberadaan galeri sangat minim. Pun hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Beberapa praktik tak lagi sesuai dengan visi estetik, berdampak pada perkembangan seni yang berjalan pincang. “Praktik SENA yang membuat seisi ruang kota sebagai ‘galerinya’, memecahkan dan melawan kondisi tersebut,” jelas Samar Project.

Pengantar “Solo Exhibition by SENA” oleh Samar Project. (FOTO: Faisal Rahman/Dekade.id)

UNTAIAN tirai plastik bergoyang perlahan menuju ruang utama pameran. Lewat variasi warna cerah dan gelap, SENA mengucapkan selamat datang melalui kalimat “Outside In“. Grafiti yang terkesan asal itu nampak estetik jika diamati, baik dari depan maupun dari belakang. Dan seperti banyak karya yang telah dia dibuat, tag SENA hadir diantara coretan-coretan grafiti itu.

Tirai plastik menjadi medium pisah ruangan di “Solo Exhibition by SENA”.
(FOTO: Faisal Rahman/Dekade.id)

SENA yang dikenal akrab dengan medium dinding beton, mencoba mengimplementasikan idenya lewat medium lain di solo exhibition ini. Selain di tirai plastik, penggunaan medium berbeda juga terlihat di instalasi 4 rambu jalan berbentuk lingkaran dan segi empat. Cerita dibalik hadirnya rambu jalan ini juga cukup menarik. SENA mendapatkannya di pelbagai lokasi di Kota Samarinda. Namun salah satunya justru ditemukan di Kota Sangatta –Kabupaten Kutai Timur. Rambu itu berbentuk larangan untuk kendaraan dengan spesifikasi tertentu.

Instalasi kaleng cat semprot bekas dan rambu lalu lintas di “Solo Exhibition by SENA”. (FOTO: Faisal Rhaman/Derkade.id)

Deretan 4 rambu jalan yang tergantung rapi di atas koleksi kaleng cat semprot bekas itu, turut pula diubah menjadi artistik. Selain itu, ada pula road barrier. Selain berisi coretan cat semprot, diantaranya juga bersanding deretan stiker ucapan para pengunjung yang menjalar hingga di sebuah tiang ruangan yang digunakan sebagai pengganti daftar buku tamu.

Medium lainnya adalah kertas. Sebanyak 40 desain grafiti di paper itu juga dihadirkan sebagai bagian dari proses kreatif SENA memadukan pelbagai warna. Jenis grafiti seperti bubble, throw up, dan roll up, menghiasi keseluruhan karya ini.

Desain grafiti bubble, throw up, dan roll up dengan medium kertas milik Sena turut dihadirkan di “Solo Exhibition by SENA”. (FOTO: Faisal Rahman/Dekade.id)

Maju selangkah, peta Kota Samarinda kemudian terlihat terbentang di dinding tembok berwarna putih –tepat di sebelah kanan ruang pameran utama. Beberapa kelurahan di sekitar 10 kecamatan, diberi pin bertali yang dihubungkan dengan deretan dokumentasi foto-foto grafiti yang pernah dibuat SENA. Dari peta tersebut tergambar, jejak karya SENA banyak berpusat di Kecamatan Samarinda Ilir. “Dokumentasi ini baru sebagian,” jelas Sena.

Instalasi dokumentasi graffiti SENA di pelbagai jalan di Kota Samarinda yang dikombinasikan dengan peta Kota Samarinda. (FOTO: Faisal Rahman/Dekade.id)

Di samping instalasi itu, tersedia pula televisi dan Playstation 2. Gim yang disediakan bagi pengunjung adalah Marc Eckō’s Getting Up: Contents Under Pressure. Ruang kecil ini seolah menceritakan bagaimana SENA memulai ketertarikannya terhadap dunia grafiti lewat sebuah gim. Ya, perjalanan Sena dan grafiti memang bermula pada gim Marc Eckō’s Getting Up: Contents Under Pressure di Playstation 2. Trane, seniman amatir yang menjadi tokoh di gim itu, menggunakan grafiti sebagai bentuk protes terhadap Kota Orwellian yang mengalami distopia dan korup. Di gim itu, kebebasan ekspresi ditekan oleh pemerintah kota yang kejam. “Saya terinspirasi karena gim ini,” akunya.

Di bagian lain, tembok putih besar lain disediakan bagi pengunjung yang ingin mencoba membuat mural langsung ditembok. SENA menyediakan secara gratis beragam cat sempot untuk digunakan. Selanjutnya adalah instalasi koleksi cat semprot bekas. Beberapa diantaranya termasuk jadul dan tidak dijual di Kota Samarinda. Cat semprot merek Diton 300 CC –misalnya– turut dipamerkan dan menjadi saksi perjalanan SENA di dunia grafiti. “Dulu dibuang begitu saja. Baru ini mulai dikumpulkan lagi,” katanya. “Ini baru sebagian, di rumah masih ada,” timpal Sena.

Karya SENA dengan medium plywood, dikombinasikan dengan uang pecahan Rp 1.000. (FOTO: Faisal Rahman/Dekade.id)

Dari semua instalasi itu, yang paling menarik adalah karya grafiti lewat medium plywood yang membentuk nama SENA. Di dalam media itu, disusun rapi lembaran uang pecahan Rp 1.000 dari waktu ke waktu. Paling dominan tentu saja uang pecahan Rp 1.000 yang dirilis pada 2000 dan 2016. SENA juga menyelipkan easter egg dalam karya itu berupa uang pecahan Rp 1.000 bergambar Danau Toba dan Loncat Batu di Nias yang beredar pada 1992.“

CERITA GRAFITI DI FLYOVER JEMBATAN MAHAKAM 

“Solo exhibition by SENA” merupakan puzzle penting dari perjalanannya selama 1 dekade lebih Sena sebagai street artist. Meski banyak terlibat dalam pelbagai eksibisi grafiti, pameran tunggal ini menjadi bukti tak terbantahkan eksistensinya dalam dunia street art lokal. Sepanjang perjalanan itu, salah satu karya yang diingat publik adalah grafitinya di flyover Jembatan Mahakam IV di Jalan Slamet Riyadi –tepat di depan Polres Samarinda. Kepada Tripia.id, Sena mengungkapkan banyak hal mengenai cerita dibalik grafiti itu.

Kata Sena, dalam setahun sekali, dia selalu memiliki “tradisi” melakukan sesuatu yang berbeda. Aktivitas ini dilakukannya sejak 2017. Mulai dari kolaborasi hingga kegiatan antar komunitas. Di 2021 –setahun setelah peresmian Jembatan Mahakam IV– Sena memutuskan untuk melakukan grafiti di flyover Jembatan Mahakam IV itu. “Saat itu belum ada yang grafiti di sana. Daripada menunggu yang lain, saya nekat saja bikin grafiti di lokasi itu,” terangnya.

Instagram @real_sena

Sena mengaku sempat melakukan survei lokasi lebih dulu. Setelah setengah jam berada di sana, dia lalu mulai menyemprotkan cat ke dinding flyover. Berbeda dengan kebanyakan karya yang dibuat, grafitinya kali ini memang terlihat sederhana dengan menggunakan warna hitam. Namun menariknya, grafiti tersebut dibuat menggunakan Alat Pemadam Api Ringan atau APAR yang telah dimodifikasi. “Medianya juga besar. Makanya pakai APAR. Kalau pakai cat semprot, jaraknya hanya 2 meter. Dengan APAR jaraknya bisa sampai 4 meter dan mudah dinotice orang,” sebutnya.

Bagi Sena, lokasi itu dipilih karena terlihat sangat kaku. Apalagi saat itu belum ada penghijauan di sekitar flyover. Penerangan yang minim saat malam hari juga menambah kesan muramnya flyover Jembatan Mahakam IV di Jalan Slamet Riyadi tersebut. Sena menyatakan, grafiti pada dasarnya tak mengubah fungsi dari medium yang digunakan. Grafiti hanya memberi warna bagi bagian bangunan yang monoton. “Setidaknya saat orang lewat, mereka melihat sesuatu untuk dinotice,” paparnya.

Keberadaan grafitinya di flyover tersebut tentu saja menimbulkan pro-kontra. Pagi harinya, kabar munculnya grafiti di flyover Jembatan Mahakam IV tersebar di media sosial. Alih-alih memperbincangkan tujuan hadirnya grafiti di tempat tersebut, publik justru lebih tertarik memperbincangkan siapa sosok yang melakukannya. Bahkan, akun Instagram miliknya tak luput dari pesan dari pelbagai pihak seperti pemerintah dan aparat. (fa)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button