Dibalik Pilkada Dulu dan Sekarang: Segitiga Emas Lumbung Suara (3-Habis)
Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), punya posisi strategis di mata setiap calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Timur (Kaltim).
PENGAMAT politik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Saiful Bahtiar, bahkan menyebut tiga daerah ini sebagai segitiga emas lumbung suara. Bukan tanpa sebab, tiga daerah ini memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kaltim.
Kendati begitu, ada anomali yang terjadi dalam sejarah Pilkada di tiga daerah itu. Di Kota Tepian, misalnya, justru menjadi daerah paling rendah partisipasi pemilihnya di Kaltim. Padahal jumlah penduduknya paling tinggi di Kaltim. Ini terjadi saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Samarinda pada 2015 dan 2020.
Di 2015, saat itu, ada dua pasangan yang bertarung. Mudiyat Noor-Iswandi dan Sjaharie Jaang-Nusyirwan Ismail. Sayangnya, jumlah partisipasi pemilih hanya 49,76 persen dari total pemilih sebanyak 379.893 jiwa. Di 2020, ada pasangan Muhammad Barkati-Darlis Pattalongi dan Andi Harun-Rusmadi Wongso. Dari 576.981 Daftar Pemilih Tetap (DPT), 292.892 diantaranya justru tak menggunakan hak pilih alias golput.
Menariknya, tingkat partisipasi pemilih tertinggi justru ada di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu). Padahal di sana, wilayahnya cukup luas dan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di beberapa tempat sulit diakses.
Di Kota Balikpapan dan Kabupaten Kukar, ceritanya lain lagi. Pasangan calon walikota-wakil walikota dan calon bupati-wakil bupati, harus berhadapan dengan kotak kosong. “Dua kali Pilkada di Samarinda, tingkat partisipasi pemilihnya justru paling rendah di Kaltim,” kata Saiful Bahtiar, saat Sosialisasi Pendidikan Politik di Apokayan Ball Room, Lantai 3, Hotel Horizon –Kota Samarinda– belum lama ini.
Dibalik itu, ujarnya, politik uang berpotensi menemukan muaranya. “Dalam teori politik uang, semakin sedikit wilayah dan penduduknya, semakin mudah memenangkan pertarungan. Tidak high cost. Tapi mungkin high cost secara suara (satu pemilih, Red.),” ujarnya.
Saiful Bahtiar menyadari, banyak petahana yang akan maju kembali di Pilkada tahun ini. Namun, penyalahgunaan sumber daya milik pemerintah setempat juga kemungkinan akan terjadi. Hal ini menilik hipotesa Pemilihan Legislatif (Pileg) Februari 2024 lalu. Dimana, ketika kepala dan wakil kepala daerah menjadi ketua partai politik (parpol), suara yang mereka raih cukup signifikan. “Penyalahgunaan kekuasaan berpotensi terjadi, dan praktik seperti ini juga berpotensi diteruskan di Pilkada nanti,” ucapnya.
Makanya, untuk mencegah praktik-praktik curang dalam Pilkada, Saiful Bahtiar mengingatkan gar masyarakat menjadi pemilih yang cerdas. Apalagi jika memiliki anak yang menjadi calon pemilih di Pilkada nanti. “Orangtua harus bijak memberikan arahan. Ajak mereka memilih bukan karena uang atau faktor lain, tapi memilih karena visi misi dan program calon pemimpinnya,” tutup Saiful Bahtiar. (fai)